Rabu, 31 Maret 2010

Melihat Wajah Birokrasi di Balik UN

Pendidikan,UAN
Bicara soal UN (Ujian Nasional), tepatnya kita juga bicara bingkai pendidikan. Pendidikan sejatinya adalah media pengembangan diri yang bertumpu pada kesuksesan dan kebahagian. Mengambil ulasan Benny Susetyo dalam buku “politik pendidikan penguasa”, pendidikan merupakan proses pembebasan. Tujuannya jelas; menciptakan individu-individu yang merdeka, betanggung jawab dan peka terhadap relitas sosial, pendidikan dan manusia satu kesatuan yang sulit dipisahkan; salama manusia masih diterima dunia untuk berkreativitas, pendidikan akan tetap ada.


Diakui ataupun tidak, pendidikan diyakini sebagai kewajiban bagi manusia untuk diterapkan dengan tegas secara maksimal. Selain itu, pendidikan harus bertansformasi. Sebab transformasi pendidikan merupakan upaya pencerdasan intelektual bangsa, dengan maksud, hasil pencapaian pendidikan sesuai dengan sesuatu yang menjadi harapan bangsa. Dr.Abd. Rahman Assegaf MA, mengungkapkan (Menggugat Pendidikan Indonesia, Moh. Yamin, 2009) bahwa pendidikan harus dilakukan saebagai modal menyiapkan individu yang memiliki kecakapan dan kemampuan. Sehingga yang tercapai nanti bukan sebaliknya


Sesuai dengan beberapa tujuan pendidikan di atas, pemerintah dan instansi terkait, rupanya telah melakukan beberapa tindakan untuk mewujudkan hal tersebut, salah satunya perubahan kurikulum-kurikulum yang dimaksudkan menmukan jati diri pendidikan, dengan berbagi metode diterapkan yang dianggap mumpuni. Hal itu perlu mendapat ajungan jempol dan tepuk tangan. Sekalipun hakikatnya semua itu masih jauh dari harapan masyarakat.


Lain dari itu, pemerintah juga menerapkan UN sebagai barometer kredibilitas dan kapsitas keilmuan anak didik bangsa. Selain itu UN juga sebagai syarat kelulusan dengan pencapaian angka-angka menakutkan, yang dijadikan standart penilaian.


Nampaknya, mereka harus benar-benar siap menghadapinya. Baik dari intelektual ataupun emosional dan spritual. Sebab mereka akan dihadapkan pada soal rumit yang bisa jadi tidak pernah dipelajari di lembaga masing-masing. Lebih-lebih emosianal, bukan tidak mungkin, mereka juga akan dihadapkan keteguhan mentalitas dan emosionalitas. Sebab selama pelaksanaan UN sejak tahun kemarin, siswa yang mempunyai intelektual tinggi tidakmemenuhi standart kelulusan sedangkan yang dianggap rendah lulus dengan nilai yang memuaskan. Jaid siswa, secara samar dituntut untuk mempersiapkan diri.


Karena jika tidak, mereka akan dapat cemohan, bahwa dirinya telah gagal. Yang hal ini berakibat pada mental yang ada. Bahkan banyak yang mengalami gangguan psikologis, ada juga yang berani merelakan nyawanya karana rasa prustasinya. Seperti halnya yang tercatat dalambuku “sekolah itu candu,2007” Roem Tomatimajang. Ada salah satu siswa SMP Kerjo Karangnganyar gantung diri yang diduga tidak lulus Ujian Nasional. Pastinya banyak lagi kejadian tragis yang tidak mungkin disebutkan semua.


Berbeda ketika sebelum atau sedang dilaksanakannya UAN, konflik yang terjadi tidak kalah hebatnya dengan stelah pelaksanaannya; mulai dari bocoran lembar jawaban, saya kira tidak ada lembaga jujur ketika UAN dilaksanakan, sebab ini masalah repotase dan harga diri. Siapa yang bangga jika mayoritas diantara muridnya tidak lulus.? Beda lagi denagn sorang siswi merelakan keperawanannya untuk dapat menjawab soal UAN.


Orientasi yang terlupakan


Tujuan utama yang disebutkan di atas, muali dari pendidikan hingga lebih spesifik lagi tentang pelaksanaan UAN. Ternyata belum tercapai, semua Cuma sebatas metode dan konsep, praktiknya tidak ada. Atau ada tapi menyalahi aturan main. Sehingga didapat hanyalah kuantitas dan formalitas sedangkan kualitasnya perlu dipertanyakan.(?)


Lalu, jika yang terjadi adalah demikian adanya; melenceng dari orientasi semula. Mengapa UN masih tetap dialaksanakan.? Untuk menjawab persoalan ini, kita harus berani melihat sesuatu apa yang ada dibalik tangan birokrasi. Kemudian, mungkinkah pelaksanaan itu adalah taktik politik pemerintah kita.? Mungkin kita jarang mendengar pertanyaan tersebut, tapi disini penulis sedikit akan memberikan jawaban dan solusi sebagi bentuk perhatian penulis pada pendidikan indonesia yang berada ditangan-tangan komersial. Sejauh ini kita tidak memikirkan itu.


Namun yang pasti, terlepas dari semua maksud di atas. Pelaksanaan UN, terlihat ada sangkut pautnya dengan politik praktis birokrasi; yang tadinya merupakan program wajib untuk melihat sejauh mana perkembangan pendidikan di indonesia, dan berupaya menjadikan manusia multifungsi. Pemerintah menafikan segalanya, menjadi program keperluan ekonominya.


Mengapa tidak? Kita ketahui bersama bahwa, dalam pelaksanaan UN tersebut akan banyak menghabiskan dana,untuk mendapatkan soalpun kita harus bayar. Benar memang, dewasa ini pemerintah memprogramkan bantuan operasional sekolah (BOS), tapi kenapa? Untuk melaksanakan UN masih memrlukan dana. Lalu masuk kemana uang itu.? Apalagi kalau dilihat dari anggaran APBD yang jumlahnya mencapai 20%. Kalau tidak masuk pada kas Negara, singkatnya sedikit banyak dana itu adalah politisasi birokrasi. Sebab realita membuktikan semua telah melewati garis hukum pendidikan, UN yang taidak berdampak apa-apa bagi bangsa, tetap saja dilaksanakan, kenapa tidak cari metode lain? Logikanya kan seperti itu.


Karena sistem birokrasi yang salah, pendidikan indonesia ikut memprihatinkan. Dalam sebuah sinopsis buku “Politik pendidikan penguasa ” bahwa potret pendidikan di Indonesian tak ubahnya benang kusut. Indonesia masih berkutat pada masalah belum tercapai; pemerataan dan rendahnya kualitas hasil pendidikan kita dipolitisasi; dikeruk menjadi lahan komoditas. Kapitalis dan keperluan finansial pemerintah. Tentunya hal itu tidak lapas dari sistem birokrasi yang korup.


Dari wacana dan beberapa fakta di atas, mungkin kita sudah dapat mereka-reka, birokrasi harus bagaimana dan begitu juga dengan pendidikan. Yang jelas negara ini tetap tidak akan pernah berkembang, kecuali sistem birokrsi tidak memamfaatkan pendidikan. Wallahu a’lam!!!!